Jumat, 26 September 2008

IR. H. BADARUDDIN ANDI PICUNANG, MM




Lahir di Belopa (Luwu Sulsel) 4 Maret 1970. Pendidikan dimulai di SDN Radda (Luwu) pindah ke SDN Sambung Jawa Makassar dan diselesaikan di SDN Padangpadang (Luwu). Lanjut ke SMPN Belopa, SMAN Wawondula (Nuha) dan selesai di SMAN Belopa. Semasa SMA aktif di OSIS & Pramuka, Ketua Umum Remaja Masjid Topoka Belopa (1988). Diterima di Fakultas Ilmu Kelautan Universitas Hasanudin (1989). Dipercaya menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa ITK UNHAS 1991-1992, Sekretaris Jenderal Himpunan Mahasiswa Kelautan Se-Indonesia (HIMITEKINDO) 1993-1995. Selain itu aktif di IMM, HMI, KNPI, ORBIT-ICMI, IPMIL dan dunia pers.
Beberapa juara karya tulis ilmiah tingkat regional dan nasional sempat diraihnya, diantaranya LKTI Hemat Energi 1994, LKTI Kepariwisataan 1991, dan LKTI Perikanan 1992. Dipercaya memimpin Lembaga Pers PP IPMIL sekaligus Pemimpin Redaksi Majalah LA GALIGO 1993-1995, Ketua Umum IPMIL Koord. UNHAS (1994), Staf penyunting Surat Kabar kampus IDENTITAS UNHAS, Perwakilan Tabloid BISNIS MARITM di Makassar (KTI) 1995-1997.

Setelah menyelesaikan S1 tahun 1997 kemudian terjun ke dunia usaha dengan mendirikan beberapa perusahaan (tambang batubara, tours & travel, konsultan) dan LSM di bawah payung BENUA GROUP dengan posisi sebagai Chairman & CEO. Sekretaris Pokja Kelautan DPP Partai GOLKAR ini juga aktif sebagai Wakil Sekjen DPP Barisan Muda KOSGORO 1957, Pimpinan PP AMPG, DPP AMPI dan Pemuda Pancasila. Aktif di Kerukunan Keluarga Tanah Luwu Jakarta yang tetap menyuarakan dan memperjuangkan LUWU RAYA sebagai provinsi. Pernah Kuliah di Magister Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Magister Manajemen Universitas Pancasila (Jakarta) dan kini sedang mendalami Ilmu Administrasi Kebijakan Publik di Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di beberapa terbitan lokal dan nasional. Buku yang pernah disunting dan ditulis diantaranya: Tudang Ade Menelusuri Hari Jadi Luwu (1995), Pembangunan KTI & Kelautan (1996), Kepemimpinan BJ Habibie (1999), Pengembangan Produk Unggulan Wilayah (2000). beristrikan sesama aktivis di ORBIT-ICMI dan alumnus UNHAS, Salmawati Yusuf, S.Sos. yang juga sedang mendalami Ilmu Psikologi di UI kini dikaruniai anak: Abelibra (6 tahun) dan Amela (4 tahun). Puisi-puisinya pernah dibukukan dalam buku PUISI-PUISI DARI KAMPUS dan jiwa seninya dituangkan dalam album dangdut GUBUK BAMBU (2008). Lelaki yang berperawakan tinggi 172 cm dan berat 75 kg hobbu renang, tennis, menembak dan golf memiliki prinsip hidup BE THE BEST AND SHARING HAPINESS (berbuat yang Terbaik dan berbagi Kebahagiaan).


Selasa, 26 Agustus 2008

Badaruddin Wakili Generasi Muda

MAKASSAR -- Putra Luwu yang kini berkiprah di pentas nasional, Badaruddin Andi Picunang mulai dipercaya Partai Golkar untuk bertarung di Pemilu 2009. Pengurus DPP Partai Golkar ini akan bertarung di dapil Sulsel 3 untuk DPR RI.Dari delapan caleg yang diusulkan Partai Golkar di dapil 3, Badaruddin berada di urut 7. Di atasnya terdapat para senior Partai Golkar, seperti Idrus Marham, Alimunsiri Rappe, Ida Nursanti, Mariani A Baramuli, dan lainnya.


"Dari dapil 3, khususnya Luwu Raya, saya memang mewakili unsur generasi muda di bawah 40 tahun," ujarnya kepada Fajar malam tadi. Masuknya Badaruddin ini seolah menggeser posisi Fachri A Laluasa yang tak lagi masuk dalam daftar caleg yang diusulkan Partai Golkar. Sebab, keduanya berasal dari dapil yang sama.

"Hanya fisiknya saja yang ke saya. Tetapi, pada prinsipnya, rohnya tetap di Kak Fachri," ujar Badaruddin menanggapi hal tersebut.

Seperti diketahui, Partai Golkar mengumpulkan seluruh calegnya yang akan bertarung di Sulsel untuk Pemilu 2009 di kantor Golkar, kemarin. Pertemuan itu dipimpin langsung Sekretaris Korwil, HM Malkan Amin didampingi HM Roem dan Syamsul Bachri.

Badaruddin bersama caleg lainnya juga hadir. Dalam pertemuan tersebut, seluruh caleg membagi habis tugas dan tanggung jawab penggalangan maupun pemenangan. Baik untuk Sulsel maupun per dapil. (har)


23 Agustus 2008

http://cetak.fajar.co.id/news.php?newsid=73535

Kamis, 21 Agustus 2008

Politik Simbolisme



Di televisi ditayangkan adegan ”dramatis”, ”menyentuh”, dan ”menggugah”. Wiranto—Ketua Umum Partai Hanura—makan nasi aking di tengah kerumunan orang di sebuah keluarga miskin di Serang, Banten (SCTV Liputan6.com, 20/3/2008). Ia merasakan sendiri betapa nasi aking tidak enak dan tak layak dimakan.

Apa yang dilakukan Wiranto jelas bukan sesuatu yang natural, tetapi lebih merupakan bagian kontestasi politik menyongsong Pemilu 2009.

Dalam kajian antropologi politik, adegan Wiranto makan nasi aking itu merupakan salah satu bentuk the politics of symbolism. Politik simbolisme adalah suatu tindakan untuk merepresentasikan sebuah gejala sosial—dalam hal ini realitas kemiskinan di masyarakat—yang diwujudkan dalam simbol yang merefleksikan makna politik tertentu (Geertz 1973; Gupta & Ferguson 1992).

Di situ simbol yang ditampilkan adalah nasi aking yang dikonsumsi orang miskin, terutama kalangan masyarakat Jawa. Kita tidak tahu, benarkah tindakan itu dilandasi ketulusan hati untuk berempati atas penderitaan kaum miskin. Apakah hal itu juga merupakan kepedulian dan simpati dari nurani atas problem kemiskinan, yang membelit 39,5 juta penduduk Indonesia. Wiranto memang memberi nama partainya ”Hanura’—Hati Nurani Rakyat.

Politik simbolisme

Merujuk pandangan antropolog Akhil Gupta dalam The Anthropology of the State (2006), ”atraksi” Wiranto itu terkait dengan sesuatu yang disebut the imagination of the state power. Kita maklum, sejak awal Wiranto sudah bersiap-diri dan sedang melakukan konsolidasi untuk menggalang dukungan politik dalam rangka pemilihan presiden mendatang. Wiranto dan partai penyokongnya menjadikan isu kemiskinan sebagai tema besar kampanye. Untuk itu, Wiranto merasa perlu menunjukkan kepada publik bahwa ia memiliki komitmen kuat untuk mengatasi masalah sosial yang akut ini. Kelak bila terpilih menjadi presiden, pemberantasan kemiskinan akan dijadikan agenda kerja paling utama dalam pemerintahan yang dipimpinnya. Hal itu tercermin pula dalam iklan politik Partai Hanura di berbagai media.

Dalam konteks demikian, imajinasi kekuasaan yang bergelayut di alam pikiran Wiranto dimanifestasikan dengan mengeksploitasi—tak selalu bermakna negatif—isu kemiskinan yang diderita banyak penduduk Indonesia. Nasi aking merupakan lambang kemiskinan paling nyata. Maka, Wiranto memanipulasi—juga tak selalu berkonotasi negatif—makna simbolis di balik aksi makan nasi aking itu.

Amat jelas, ada tautan antara politik simbolisme—makan nasi aking—dan imajinasi kekuasaan, yakni upaya menggapai jabatan menjadi presiden. Sebagai sosok pemimpin, Wiranto berusaha membangun basis legitimasi kekuasaan politik, kepercayaan publik, dan kredibilitas moral melalui aneka ragam aksi sosial, yang berpotensi melahirkan dukungan rakyat. Wiranto bermain pada tataran simbolisme dan menggunakan pendekatan kemanusiaan, yakni berasosiasi dengan sekelompok masyarakat miskin guna menunjukkan jiwa populis dan merakyat.

Namun, penting dicatat, spirit kerakyatan yang dibangun melalui politik simbolisme tidak sama-sebangun dengan gagasan dan cita-cita mewujudkan negara kesejahteraan yang berwatak populis dan berorientasi kerakyatan. Sejauh ini belum ada pemimpin politik atau parpol yang memiliki cetak biru secara komprehensif, solid, dan meyakinkan bagaimana mengatasi problem kemiskinan dan membangun masyarakat sejahtera dan makmur.

Penting diketahui, politik simbolisme sama sekali tak bertujuan menolong rakyat miskin sebab esensi politik simbolisme hanya menjadikan suatu subyek (baca: masyarakat miskin) sebagai medium untuk membangun pencitraan dalam rangka memobilisasi dukungan politik.

Politik pencitraan

Apa yang dilakukan Wiranto sejatinya tak lebih dari sekadar—serupa dengan SBY—tebar pesona dengan membangun citra-diri sebagai figur populis dan merakyat. Aksi makan nasi aking merupakan bentuk politik pencitraan-diri dalam wujud yang lain. Berdasar pengalaman pemilu lalu, politik pencitraan-diri terbukti amat efektif dan sukses mengantar SBY menjadi presiden. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana SBY melakukan politik simbolisme dengan mengeksploitasi sosok petani miskin di Cikeas, Bogor. Ketika mendeklarasikan ”koalisi kerakyatan”, SBY berasosiasi dan mengidentifikasi diri sebagai figur populis dan merakyat melalui representasi Pak Manyar, sang petani miskin. Sungguh ironis, hingga periode jabatan kepresidenan hampir berakhir pun nasib Pak Manyar tak kunjung berubah. Ia dan banyak penduduk di kampungnya tetap hidup dalam kemiskinan, bahkan tempat tinggalnya ”dikepung” kompleks hunian elite milik orang-orang kaya.

Sayang, Wiranto kurang canggih mengadaptasi hal serupa yang pernah dilakukan SBY dalam dimensi lain politik pencitraan-diri. Seperti SBY yang mengeksploitasi pencitraan-diri—juga dilandasi imajinasi kekuasaan untuk meraih jabatan presiden pada Pemilu 2004—demikian pula yang dilakukan Wiranto.

SBY dan Wiranto sejatinya mewakili sebagian besar elite nasional dalam berpolitik, yang ketika mengartikulasikan persoalan kemiskinan dilakukan melalui politik simbolisme dengan cara kurang dalam. Di mata politisi dan mereka yang punya imajinasi kekuasaan, realitas kemiskinan hanya dijadikan medium proses reproduksi politik simbolisme.

Betapa menyedihkan, mereka yang hidup dalam kubangan kemiskinan selalu dijadikan ”barang dagangan” dalam setiap ritual politik pemilu. Sejak 1998, presiden sudah berganti empat kali, tetapi pemimpin yang mengemban amanat kekuasaan tidak mampu mengubah kemiskinan menjadi kesejahteraan. Wahai para elite, politisi, dan capres, berhentilah mereproduksi politik simbolisme.

Amich Alhumami Peneliti Sosial, Department of Social Anthropology, University of Sussex, UK