Jumat, 26 September 2008

IR. H. BADARUDDIN ANDI PICUNANG, MM




Lahir di Belopa (Luwu Sulsel) 4 Maret 1970. Pendidikan dimulai di SDN Radda (Luwu) pindah ke SDN Sambung Jawa Makassar dan diselesaikan di SDN Padangpadang (Luwu). Lanjut ke SMPN Belopa, SMAN Wawondula (Nuha) dan selesai di SMAN Belopa. Semasa SMA aktif di OSIS & Pramuka, Ketua Umum Remaja Masjid Topoka Belopa (1988). Diterima di Fakultas Ilmu Kelautan Universitas Hasanudin (1989). Dipercaya menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa ITK UNHAS 1991-1992, Sekretaris Jenderal Himpunan Mahasiswa Kelautan Se-Indonesia (HIMITEKINDO) 1993-1995. Selain itu aktif di IMM, HMI, KNPI, ORBIT-ICMI, IPMIL dan dunia pers.
Beberapa juara karya tulis ilmiah tingkat regional dan nasional sempat diraihnya, diantaranya LKTI Hemat Energi 1994, LKTI Kepariwisataan 1991, dan LKTI Perikanan 1992. Dipercaya memimpin Lembaga Pers PP IPMIL sekaligus Pemimpin Redaksi Majalah LA GALIGO 1993-1995, Ketua Umum IPMIL Koord. UNHAS (1994), Staf penyunting Surat Kabar kampus IDENTITAS UNHAS, Perwakilan Tabloid BISNIS MARITM di Makassar (KTI) 1995-1997.

Setelah menyelesaikan S1 tahun 1997 kemudian terjun ke dunia usaha dengan mendirikan beberapa perusahaan (tambang batubara, tours & travel, konsultan) dan LSM di bawah payung BENUA GROUP dengan posisi sebagai Chairman & CEO. Sekretaris Pokja Kelautan DPP Partai GOLKAR ini juga aktif sebagai Wakil Sekjen DPP Barisan Muda KOSGORO 1957, Pimpinan PP AMPG, DPP AMPI dan Pemuda Pancasila. Aktif di Kerukunan Keluarga Tanah Luwu Jakarta yang tetap menyuarakan dan memperjuangkan LUWU RAYA sebagai provinsi. Pernah Kuliah di Magister Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Magister Manajemen Universitas Pancasila (Jakarta) dan kini sedang mendalami Ilmu Administrasi Kebijakan Publik di Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di beberapa terbitan lokal dan nasional. Buku yang pernah disunting dan ditulis diantaranya: Tudang Ade Menelusuri Hari Jadi Luwu (1995), Pembangunan KTI & Kelautan (1996), Kepemimpinan BJ Habibie (1999), Pengembangan Produk Unggulan Wilayah (2000). beristrikan sesama aktivis di ORBIT-ICMI dan alumnus UNHAS, Salmawati Yusuf, S.Sos. yang juga sedang mendalami Ilmu Psikologi di UI kini dikaruniai anak: Abelibra (6 tahun) dan Amela (4 tahun). Puisi-puisinya pernah dibukukan dalam buku PUISI-PUISI DARI KAMPUS dan jiwa seninya dituangkan dalam album dangdut GUBUK BAMBU (2008). Lelaki yang berperawakan tinggi 172 cm dan berat 75 kg hobbu renang, tennis, menembak dan golf memiliki prinsip hidup BE THE BEST AND SHARING HAPINESS (berbuat yang Terbaik dan berbagi Kebahagiaan).


Selasa, 26 Agustus 2008

Badaruddin Wakili Generasi Muda

MAKASSAR -- Putra Luwu yang kini berkiprah di pentas nasional, Badaruddin Andi Picunang mulai dipercaya Partai Golkar untuk bertarung di Pemilu 2009. Pengurus DPP Partai Golkar ini akan bertarung di dapil Sulsel 3 untuk DPR RI.Dari delapan caleg yang diusulkan Partai Golkar di dapil 3, Badaruddin berada di urut 7. Di atasnya terdapat para senior Partai Golkar, seperti Idrus Marham, Alimunsiri Rappe, Ida Nursanti, Mariani A Baramuli, dan lainnya.


"Dari dapil 3, khususnya Luwu Raya, saya memang mewakili unsur generasi muda di bawah 40 tahun," ujarnya kepada Fajar malam tadi. Masuknya Badaruddin ini seolah menggeser posisi Fachri A Laluasa yang tak lagi masuk dalam daftar caleg yang diusulkan Partai Golkar. Sebab, keduanya berasal dari dapil yang sama.

"Hanya fisiknya saja yang ke saya. Tetapi, pada prinsipnya, rohnya tetap di Kak Fachri," ujar Badaruddin menanggapi hal tersebut.

Seperti diketahui, Partai Golkar mengumpulkan seluruh calegnya yang akan bertarung di Sulsel untuk Pemilu 2009 di kantor Golkar, kemarin. Pertemuan itu dipimpin langsung Sekretaris Korwil, HM Malkan Amin didampingi HM Roem dan Syamsul Bachri.

Badaruddin bersama caleg lainnya juga hadir. Dalam pertemuan tersebut, seluruh caleg membagi habis tugas dan tanggung jawab penggalangan maupun pemenangan. Baik untuk Sulsel maupun per dapil. (har)


23 Agustus 2008

http://cetak.fajar.co.id/news.php?newsid=73535

Kamis, 21 Agustus 2008

Politik Simbolisme



Di televisi ditayangkan adegan ”dramatis”, ”menyentuh”, dan ”menggugah”. Wiranto—Ketua Umum Partai Hanura—makan nasi aking di tengah kerumunan orang di sebuah keluarga miskin di Serang, Banten (SCTV Liputan6.com, 20/3/2008). Ia merasakan sendiri betapa nasi aking tidak enak dan tak layak dimakan.

Apa yang dilakukan Wiranto jelas bukan sesuatu yang natural, tetapi lebih merupakan bagian kontestasi politik menyongsong Pemilu 2009.

Dalam kajian antropologi politik, adegan Wiranto makan nasi aking itu merupakan salah satu bentuk the politics of symbolism. Politik simbolisme adalah suatu tindakan untuk merepresentasikan sebuah gejala sosial—dalam hal ini realitas kemiskinan di masyarakat—yang diwujudkan dalam simbol yang merefleksikan makna politik tertentu (Geertz 1973; Gupta & Ferguson 1992).

Di situ simbol yang ditampilkan adalah nasi aking yang dikonsumsi orang miskin, terutama kalangan masyarakat Jawa. Kita tidak tahu, benarkah tindakan itu dilandasi ketulusan hati untuk berempati atas penderitaan kaum miskin. Apakah hal itu juga merupakan kepedulian dan simpati dari nurani atas problem kemiskinan, yang membelit 39,5 juta penduduk Indonesia. Wiranto memang memberi nama partainya ”Hanura’—Hati Nurani Rakyat.

Politik simbolisme

Merujuk pandangan antropolog Akhil Gupta dalam The Anthropology of the State (2006), ”atraksi” Wiranto itu terkait dengan sesuatu yang disebut the imagination of the state power. Kita maklum, sejak awal Wiranto sudah bersiap-diri dan sedang melakukan konsolidasi untuk menggalang dukungan politik dalam rangka pemilihan presiden mendatang. Wiranto dan partai penyokongnya menjadikan isu kemiskinan sebagai tema besar kampanye. Untuk itu, Wiranto merasa perlu menunjukkan kepada publik bahwa ia memiliki komitmen kuat untuk mengatasi masalah sosial yang akut ini. Kelak bila terpilih menjadi presiden, pemberantasan kemiskinan akan dijadikan agenda kerja paling utama dalam pemerintahan yang dipimpinnya. Hal itu tercermin pula dalam iklan politik Partai Hanura di berbagai media.

Dalam konteks demikian, imajinasi kekuasaan yang bergelayut di alam pikiran Wiranto dimanifestasikan dengan mengeksploitasi—tak selalu bermakna negatif—isu kemiskinan yang diderita banyak penduduk Indonesia. Nasi aking merupakan lambang kemiskinan paling nyata. Maka, Wiranto memanipulasi—juga tak selalu berkonotasi negatif—makna simbolis di balik aksi makan nasi aking itu.

Amat jelas, ada tautan antara politik simbolisme—makan nasi aking—dan imajinasi kekuasaan, yakni upaya menggapai jabatan menjadi presiden. Sebagai sosok pemimpin, Wiranto berusaha membangun basis legitimasi kekuasaan politik, kepercayaan publik, dan kredibilitas moral melalui aneka ragam aksi sosial, yang berpotensi melahirkan dukungan rakyat. Wiranto bermain pada tataran simbolisme dan menggunakan pendekatan kemanusiaan, yakni berasosiasi dengan sekelompok masyarakat miskin guna menunjukkan jiwa populis dan merakyat.

Namun, penting dicatat, spirit kerakyatan yang dibangun melalui politik simbolisme tidak sama-sebangun dengan gagasan dan cita-cita mewujudkan negara kesejahteraan yang berwatak populis dan berorientasi kerakyatan. Sejauh ini belum ada pemimpin politik atau parpol yang memiliki cetak biru secara komprehensif, solid, dan meyakinkan bagaimana mengatasi problem kemiskinan dan membangun masyarakat sejahtera dan makmur.

Penting diketahui, politik simbolisme sama sekali tak bertujuan menolong rakyat miskin sebab esensi politik simbolisme hanya menjadikan suatu subyek (baca: masyarakat miskin) sebagai medium untuk membangun pencitraan dalam rangka memobilisasi dukungan politik.

Politik pencitraan

Apa yang dilakukan Wiranto sejatinya tak lebih dari sekadar—serupa dengan SBY—tebar pesona dengan membangun citra-diri sebagai figur populis dan merakyat. Aksi makan nasi aking merupakan bentuk politik pencitraan-diri dalam wujud yang lain. Berdasar pengalaman pemilu lalu, politik pencitraan-diri terbukti amat efektif dan sukses mengantar SBY menjadi presiden. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana SBY melakukan politik simbolisme dengan mengeksploitasi sosok petani miskin di Cikeas, Bogor. Ketika mendeklarasikan ”koalisi kerakyatan”, SBY berasosiasi dan mengidentifikasi diri sebagai figur populis dan merakyat melalui representasi Pak Manyar, sang petani miskin. Sungguh ironis, hingga periode jabatan kepresidenan hampir berakhir pun nasib Pak Manyar tak kunjung berubah. Ia dan banyak penduduk di kampungnya tetap hidup dalam kemiskinan, bahkan tempat tinggalnya ”dikepung” kompleks hunian elite milik orang-orang kaya.

Sayang, Wiranto kurang canggih mengadaptasi hal serupa yang pernah dilakukan SBY dalam dimensi lain politik pencitraan-diri. Seperti SBY yang mengeksploitasi pencitraan-diri—juga dilandasi imajinasi kekuasaan untuk meraih jabatan presiden pada Pemilu 2004—demikian pula yang dilakukan Wiranto.

SBY dan Wiranto sejatinya mewakili sebagian besar elite nasional dalam berpolitik, yang ketika mengartikulasikan persoalan kemiskinan dilakukan melalui politik simbolisme dengan cara kurang dalam. Di mata politisi dan mereka yang punya imajinasi kekuasaan, realitas kemiskinan hanya dijadikan medium proses reproduksi politik simbolisme.

Betapa menyedihkan, mereka yang hidup dalam kubangan kemiskinan selalu dijadikan ”barang dagangan” dalam setiap ritual politik pemilu. Sejak 1998, presiden sudah berganti empat kali, tetapi pemimpin yang mengemban amanat kekuasaan tidak mampu mengubah kemiskinan menjadi kesejahteraan. Wahai para elite, politisi, dan capres, berhentilah mereproduksi politik simbolisme.

Amich Alhumami Peneliti Sosial, Department of Social Anthropology, University of Sussex, UK


MAKNA KEMERDEKAAN

Merdeka...Merdeka...Merdeka. Itulah ucapan yang pertama kali kita dengar menjelang Dirgahayu RI dirayakan. Tentunya kita sendiri bisa mengetahui apa arti kata “Merdeka” dan apa tujuan akhir dari kata tersebut. Merdeka berarti bebas, bebas disini diartikan bebas dari penjajahan, sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 alenia ke-1, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan”. Tujuan akhir dari kata merdeka bagi bangsa Indonesia sendiri, yaitu ingin menjadi bangsa yang dapat meguasai segala kehidupan negaranya sendiri tanpa turut campur dari para penjajah.

Pada detik-detik ini, enam puluh tiga tahun yang lalu, bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya dari penjajahan oleh bangsa asing. Kemerdekaan yang diperoleh dengan perjuangan berdarah, oleh para pahlawan sjuhada bangsa. Oleh karena itu, sungguh layak dan patut kiranya bagi kita semua bangsa Indonesia untuk memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya dengan berkah dan rahmat-NYA-lah kita akhirnya bisa mencapai kemerdekaan. Dengan kemerdekaan tersebut, hingga detik ini kehidupan bangsa kita tetap utuh, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap berdiri tegak.

Kita tentu masih ingat peristiwa yang tidak akan terlupakan oleh seluruh bangsa Indonesia yaitu tanggal 17 Agustus 1945. Peristiwa ini merupakan tonggak kemerdekaan bangsa Indonesia dari belenggu penjajah. Sejak itulah bangsa Inonesia merupakan bangsa yang bebas dari penjajahan. Namun penjajah masih ingin menguasai negara kita. Oleh karena itu, perjuangan bangsa kita pada saat itu belum selesai.

Kemerdekaan yang diperjuangkan para pendahulu kita bukan kemerdekaan yang asal merdeka. Bukanlah kemerdekaan yang tanpa konsep atau tanpa norma, apalagi tanpa hukum. Kemerdekaan yang mereka perjuangkan adalah kemerdekaan yang melembaga, kemerdekaan yang pada satu sisi memberi peluang setiap manusia untuk dapat menikmati hak asasinya, tetapi pada sisi lain mengharuskan ditunaikannya kewajiban warga negara, dipeliharanya kebersamaan, persatuan dan kesatuan, dan ditegakkannya hukum. Kemerdekaan yang konsep, norma dan segala sesuatunya dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945, dan yang sesungguhnya terpateri dengan indah dalam rumusan Pancasila.


Masa lalu pasti berbeda dengan masa sekarang, begitu pula dengan dengan masa mendatang. Tak bijaksana memang jika mempertentangkan kekurangan serta kelebihan yang ada pada suatu masa dengan yang terjadi pada masa yang lain. Itu karena setiap masa pasti memiliki corak dan warna yang khas. Namun merefleksikan kembali prinsip luhur dan nilai-nilai kejuangan yang dahulu tertanam kuat dalam sanubari pejuang bagi bangsa yang kini tengah terpuruk adalah suatu hal yang positif.


Kalau selama penjajahan yang tiga setengah abad lamanya itu kita dihadapkan pada kekuatan senjata kaum penjajah, yang kita hadapi sekarang bukanlah senjata, melainkan pikiran-pikiran yang membuat kita tidak dapat bergerak secara merdeka, terlebih lagi kala bangsa kita yang merayakan ulang tahunnya yang ke-63 (17-8-2008), benarkah demikian? Mengapa? Bukankah kita negara yang sudah merdeka dan berdaulat penuh? Memang, tetapi kalau kita berani melanggar pikiran-pikiran yang dominan atau “main stream thoughts” dari masyarakat internasional, kita dianggap melakukan pelanggaran kontrak, yang harus dihukum dengan diisolasinya Indonesia dari masyarakat internasional.


Beranikah kita menghadapi isolasi dengan segala konsekwensinya? Musuh kita untuk meraih kembali kemandirian bangsa bukan hanya aturan main yang ditentukan oleh lembaga-lembaga internasional, tetapi di dalam Indonesia diperkuat oleh sekelompok elit intelektual bangsa Indonesia yang besar pengaruhnya dalam pembentukan opini publik, betapapun tidak masuk akalnya pikiran-pikiran mainstream yang menjelma menjadi aturan, konvensi, dogma dan doktrin.


Kita tidak mungkin memperoleh kembali kemandirian kalau kita tidak berani melakukan terobosan yang inovatif dan kreatif. Inovasi dan kreativitas memang selalu harus menerobos penghalang yang sudah menjadi aturan main, konvensi, dogma dan doktrin. Namun untuk melakukan itu semuanya ada biayanya, ada resikonya dalam bentuk kesengsaraan sementara. Ketika itu nanti terjadi, adalah para komprador dan kroni bangsa kita sendiri yang menghujat dan menakut-nakuti melalui penguasaan dan pengendalian pembentukan opini publik. Ini tidak mengherankan.


Sejenak marilah kita berpikir tentang apa yang harus kita lakukan sebagai generasi muda khususnya sebagai pelajar untuk bangsa ini, sudahkah kita melakukannya, serta apakah kita sudah memberikan yang terbaik bagi Tanah Air kita? Hati nuranilah yang dapat menjawabnya, atau mungkinkah ada diantara kita yang tidak pernah memikirkan nasib bangsa Indonesia dalam era globalisasi ini? Kita terlalu terlena akan kesenangan dan kenikmatan material yang kita rasakan saat ini, sementara di sisi lain banyak diantara kita yang nasibnya jauh lebih buruk dibanding kita.

Kemerdekaan fisik mungkin sudah kita raih. Tetapi, apakah kita sudah meraih kemerdekaan bertindak untuk menentukan sendiri sistem politik kita ? Apakah kita sudah meraih kemerdekaan bertindak untuk menentukan sendiri sistem ekonomi kita ? Apakah kita sudah meraih kemerdekaan bertindak untuk menentukan sendiri sistem budaya kita ? Apakah kita sudah meraih kemerdekaan dari belenggu ketakutan, dari belenggu ketidakberdayaan, dan dari belenggu kemiskinan?

Sebenarnya bangsa Indonesia sudah 63 tahun merdeka, tetapi kalau dilihat dari tingkah laku masyarakatnya sendiri, sebenarnya kita tidak mau merdeka. Misalnya, pemerintah sendiri sudah memberikan berbagai fasilitas yang memudahkan masyarakat, tetapi banyak diantaranya yang tidak mempergunakannya dengan baik, malah di rusak. Sumber Daya Alam yang dimiliki Indonesia sangat melimpah, tetapi apakah kita sudah mengolahnya seefisien mungkin?


Sebagai generasi muda, kita mempunyai tugas yang harus kita emban dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran sebagai generasi penerus bangsa. Kitalah calon pemimpin di masa depan. Kita juga harus menghargai perjuangan para pahlawan bangsa yang telah gugur di medan perang demi mencapai arti kata merdeka agar kita dapat mengambil pelajaran didalamnya, sehingga kita dapat membangun bersama menuju Indonesia cerah.

MALAIKAT PELINDUNG

Suatu hari seorang bayi siap untuk dilahirkan ke dunia. Dia bertanya kepada Tuhan: “Para malaikat disini mengatakan bahawa besok Engkau akan mengirimku ke dunia, tetapi bagaimana aku bisa hidup disana, bukankah aku begitu kecil dan lemah?” Tuhan menjawab: “Aku telah memilih satu malaikat untukmu. Ia akan menjaga dan mengasihimu.” Sang bayi berdalih: “Tapi disini, di dalam surga, aku bisa bernyanyi dan tertawa. Itu sudah cukup bagiku untuk merasa bahagia.” Tuhan menjawab: “Malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum untukmu setiap hari. Kamu akan merasakan kehangatan cintanya dan menjadi lebih bahagia.” Sang bayi bertanya lagi: “Dan bagaimana aku bisa mengerti saat orang-orang berbicara padaku, bukankah aku tidak mengerti bahasa mereka Tuhan?” Tuhan pun menghiburnya: “Malaikatmu akan berbicara kepadamu dengan bahasa yang paling indah di antara bahasa yang pernah kamu dengar. Dengan penuh kesabaran serta perhatian, dia akan mengajarkan padamu bagaimana cara berbicara.” Percakapan itu pun berlanjut: “Dan apa yang akan aku lakukan saat ingin berbicara kepada-Mu?” “Malaikatmu akan mengajarkan bagaimana cara berdoa.” “Hmm… Tuhan, aku mendengar bahwa di bumi banyak orang jahat, lalu siapa yang akan melindungiku?” “Malaikatmu akan melindungimu, walaupun hal tersebut mungkin bisa mengancam keselamatan jiwanya.” “Tapi, aku pasti akan merasa sedih karena tidak melihat-Mu lagi.” “Malaikatmu akan menceritakan padamu tentang Aku, dan akan mengajarkan bagaimana agar kamu bisa kembali kepada-Ku, walaupun sesungguhnya Aku akan selalu berada di sisimu.”


Saat itu surga begitu tenangnya, sehingga suara dari bumi dapat terdengar, dan sang anak bertanya perlahan, “Tuhan, jika aku harus pergi sekarang, maukah Engkau memberitahu nama malaikat itu?” “Hmm…, baiklah. Kamu nanti akan memanggil malaikatmu itu dengan sebutan Ibu.”

Rabu, 02 Juli 2008

Politik Uang dalam Pemilihan Bupati Luwu 2008

Hiruk pikuk masyarakat luwu dalam menghadapi pemilihan bupati luwu untuk periode 2008-2013 begitu interest. Hal ini bisa dilihat dengan banyak calon yang muncul ke permukaan. Ini menandakan bahwa luwu sekarang mengalami kemajuan yang luar biasa terutama di bidang sumber daya manusia.

Dan memang politik, begitu menarik hati, tidak memandang status dalam tatanan social masyarakat. Ada adagium dalam politik bahwa tidak ada lawan atau kawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan abadi. Tujuan orang berpolitik adalah kekuasaan. Seperti kata Mafioso italia berkata” kekuasaan itu lebih nikmat daripada bersenggama”.

Perkembangan politik di luwu begitu mencengangkan, karena perubahan dukungan masyarakat bisa berubah-ubah setiap waktu. Fanatisme terhadap suatu kelompok tidak terlalu mengikat. Karena secara sosiologis masyarakat luwu adalah masyarakat yang merdeka dari tekanan siapapun. Namun persaingan antara kandidat calon bupati luwu, tidak akan terlepas dari politik uang yang seperti kanker ganas yang menggegoroti demokrasi, sehingga demokrasi tak lebih dari investasi untuk meraih kekayaan secara singkat dan menjanjikan. Demokrasi hanya symbol-simbol dalam pemilihan bupati luwu 2008.

Politik dan Uang

Kekuatan uang dalam politik semakin menunjukan pengaruh luar biasa. Pengaruh itu dapat kita saksikan dalam bekerjanya fungsi-fungsi parlemen dalam hubungan dengan pemerintah, institusi negara dan sector swasta.

Pendeknya, legitimasi parpol dan parlemen sebagai instrument demokrasi modern untuk menyalurkan aspirasi masyarakat.kini berada di titik nadir. Betul bahwa kehidupan politik hanya ladang perburuan rente ekonomi dan bukan kegiatn produktif.

Kian intimnya hubungan politik dan uang mungkin akan melanggengkan korupsi investif. Para pejabat dan pengusaha yang dekat kekuasaan semakin kaya entah uangnya berasal dari uang halal atau uang haram Celakanya mereka tidak ada kepentingan untuk membangun infrastruktur politik, social, ekonomi yang sehat untuk kepentingan pembangunan berkelanjutan tetapi sekedar cash and carry.

Peran kekuatan uang

Mengapa kekuatan uang begitu memegang peran penting? Yang nyata untuk membiayai kendaraan parpol dan untuk kampaye yang memerlukan biaya besar.

Dalam system pemilu sekarang, biaya politik untuk pemenangan pemilu lebih ke kas kandidat bukan partai, sehingga mereka harus memperluas sumber pendanaan. Kandidat bupati yang melamar parpol peserta pemilu harus mengeluarkan dua kali untuk memenagi “pemilu internal” dan kampaye di daerah pemilihan.

Faktor ideologis mungkin mungkin bukan daya tarik politik karena warna ideology hampir tidak terlihat dalam dunia perpolitikan, selain hanya politik identitas. Di mata rakyat, kebanyakan belum ada contoh nyata hubungan politik dengan kesejahteraan umum. Maka jangan salahkan jika masyarakat lebih pragmatis menuntut keuntungan pribadi yang langsung daripada perbaikan kebijakan umum. Apabila hal ini terjadi, yang ada hanya penghisapan manusia oleh manusia (L’explotation de L’homme per L’homme)

Namun harapan kedepan, makin banyak pemilih luwu yang rasional sekaligus mengingatkan untuk menghukum dan tidak memilih penguasa yang tidak berprestasi, mempunyai rapor merah, dan berbau busuk. Sehingga tujuan demokrasi tercapai yaitu keadilan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Copy Right . Andi Sidi Gazalba Wajuanna

Kordinator Front Rakyat Tana Luwu (FORTAL)

Rabu, 25 Juni 2008

JADILAH ORANG KERAS KEPALA

Dua begawan Donald Trump dan Robert Kiyosaki sempat wanti-wanti, baik dalam kehidupan sehari-hari, bisnis, investasi, karya maupun bidang lainnya, kita mesti berpikir untuk menang, bukan sekedar tidak kalah. Terkait itu, saya sreg sekali dengan General Electric (GE) -perusahaan terbesar nomor dua di dunia. Berawal pada tahun 1876, mengandalkan kekuatan teknologinya, GE kemudian merambah peralatan rumah tangga, lampu listrik, finansial, mesin jet pesawat, pembangkit nuklir, dan lain-lain.

Lantaran seradak-seruduk di segala lahan, mulai dekade 1970-an GE menjelma menjadi raksasa gemuk yang tidak lincah dan boros. Untunglah, pada tahun 1981 GE dinahkodai figur luar biasa bernama Jack Welch. Dengan teriakan, “Fix, close, sell!” ia pun melego 200 anak perusahaannya dan mengakuisisi 1.700 perusahaan lainnya. Kriteria melego atau mengakuisisinya sederhana saja, menjadi nomor satu atau nomor dua di bidangnya. Apabila tidak, GE akan melupakan bidang tersebut. Istilah lainnya, memastikan menang, bukan sekedar tidak kalah.

Saat Jack masuk, nilai GE adalah US$ 14 miliar. Sewaktu ia keluar 20 tahun kemudian, nilainya meloncat setinggi US$ 130 miliar. Kalau boleh sombong, tidak ada seorang pun pemimpin bisnis di muka bumi ini yang sanggup melipatgandakan nilai seperti itu, selain dirinya. Akhir-akhir ini, GE dinilai sebesar setengah trilliun dolar dan tahun 2006 merek GE dihargai sebesar US$ 48.907 juta. Jadilah GE salah satu merek paling mahal di jagat ini. Dan ini semua berakar dari filosofi menang, bukan sekedar tidak kalah.

Di tanah air, sedikit-banyak Ciputra Group, Kem Chicks, dan Astra Internasional juga mengamalkan falsafah itu. Di segala medan, mereka bertarung untuk menang, bukan sekedar tidak kalah. Dan percaya atau tidak, pijakan utama untuk meraihnya adalah dengan menjadi orang yang keras kepala. Tentunya, dalam artian gigih, bukan ndableg asal-asalan. Tolong di-highlight itu. Sayangnya, selama ini Indonesia lebih dikenal sebagai bangsa yang ramah, bukan bangsa yang gigih. Kalau Jepang dan Korea, barulah disebut-sebut sebagai bangsa yang gigih.

Catatlah, baik Ciputra, Bob Sadino, maupun William Soerjadjaja juga pernah pailit bahkan terbelit utang. Tidak terkecuali. Setidak-tidaknya pada periode-periode tertentu. Akan tetapi, mereka sama sekali tidak kepikir untuk balik kampung. Alih-alih begitu, mereka malah terus maju. Kini, mereka adalah ikon di jalurnya masing-masing.

Seorang ekonom asal Bangladesh -Muhammad Yunus- akan menunjukkan kepada kita semua apa yang dimaksud dengan gigih. Obsesinya ketika itu adalah bagaimana bank-bank setempat dapat menyalurkan dan mengulurkan kredit kepada warga yang sangat miskin. Bayangkan saja, banyak di antara mereka mengharapkan pinjaman berkisar 12.000 rupiah.

Ide yang sangat mulia ini sempat ia sodorkan ke mana-mana, namun ternyata semua pihak cuma menggelengkan kepala. Sepintar apapun ia berargumen, tetap saja bankir dan pejabat pemerintah berdalih, “Orang melarat tidak layak dikucur kredit.” Untunglah, ia termasuk orang yang gigih. Ia tanggalkan dan tinggalkan cara pandang seekor burung. Alih-alih begitu, ia malah mengenakan cara pandang seekor cacing, di mana ia berusaha mengetahui apa yang terhampar tepat di depan mata. Dengan mengendusnya. Dengan menyentuhnya.

Mulanya, ia hanya menjadi semacam penjamin bagi warga yang sangat miskin. Lama-kelamaan, ia malah merintis banknya sendiri -tentu saja sesuai dengan konsep yang ia cita-citakan sedari awal. Namanya Grameen Bank. Tanpa diduga-duga, kini bank itu berhasil menangani 46.000 desa di Bangladesh melalui lebih dari 1.200 cabang. Atas jasanya yang tidak mengenal lelah tersebut, ia pun dianugerahi Nobel Perdamaian. Itulah buah dari kegigihan.

CINTA MEMBUAT KITA BERSAYAP

Entah dari mana datangnya kekuatan, setelah belajar jauh ke negeri orang bertahun-tahun, membaca ribuan buku, majalah, koran, mengumpulkan pengetahuan lewat internet, dicerahkan oleh pergaulan yang demikian luas, diperkaya oleh film yang sempat saya tonton, namun bolak-balik saya didamparkan pada puncak ide yang bernama cinta. Mirip dengan guru Aikido yang bernama Morihei Ueshiba, yang menyebut hanya ada satu puncak yaitu
cinta, perjalanan ide saya juga demikian. Dari bacaan, pergaulan, maupun tontotan, semuanya berujung pada lorong yang bernama cinta.

Demikian juga ketika saya bersama anak-anak menonton film The Theory of Conspiracy di HBO suatu malam pertangahan Maret 2000. Film inspiratif yang dibintangi Mel Gibson dan Julia Roberts ini, memang dilatarbelakangi oleh dunia intelejen yang penuh teka-teki, menantang dan kadang kejam. Mel Gibson dan Julia Roberts memang bermain mengagumkan. Namun, yang lebih mengagumkan adalah cerita film ini. Untuk tujuan kekuasaan yang penuh kekejaman, kerakusan dan keserakahan, Mel Gibson memorinya diacak-acak dan dihancurkan. Kemudian, diformat ulang agar ia menjadi seorang pembunuh yang berdarah
dingin. Yang diharapkan bisa membunuh seorang hakim yang membongkar kasus lama.

Akan tetapi, begitu Mel Gibson siap membunuh sang hakim, ia melihat cinta seorang hakim terhadap puterinya (Julia Roberts) yang menawan.Entah cinta sang hakim pada puterinya, atau cintaseorang pria kepada seorang wanita, yang jelas seluruh energi cinta ini menghentikan energi membunuh Mel Gibson yang penuh
dengan format penguasa.

Merasa takut dan tidak puas dengan hasil format terhadap Mel Gibson, ia pun dikejar dan disiksa. Bahkan sampai mengerahkan seluruh komponen aparat keamanan. Sekali lagi, ia selamat berkat sayap yang bernama cinta. Di akhir cerita, secara amat romantis Mel Gibson bertutur apik : love gives us wing.

Kalimat apik terakhir ini mengingatkan saya pada sejumlah pengalaman berat. Dalam presentasi di depan petinggi-petinggi Citibank Indonesia dari country manager sampai dengan semua vice president saya bertemu dengan banyak sekali orang pintar dengan jam terbang yang mengagumkan. Demikian juga ketika diajak keliling Indonesia oleh Tupper Ware. Saya bertemu dengan
banyak manusia yang amat beragam. Hal yang sama juga terjadi, ketika melakoni diri menjadi konsultan yang harus berhadapan dengan pengusaha-pengusaha sukses yang kaya raya. Ada yang sombong, merendahkan, menghina sampai dengan kagum penuh pujian.

Akan tetapi, dengan modal sayap yang bernama cinta, semua itu lewat tanpa halangan yang menakutkan. Seorang peserta lokakarya yang amat sarkastis di awal, di akhir malah memeluk saya sambil memberikan hadiah sepasang sepatu mahal. Kerap saya ragu dan bingung, tanpa usaha yang terlalu keras,
bagaimana orang yang demikian bermusuhan awalnya menjadi demikian bersahabat. Dalam politik perkantoran juga sama. Kepala saya pernah diinjak dan dikencingin orang lain. Bahkan ada yang melakukannya di depan umum. Entah dari mana datangnya kekuatan, orang-orang seperti ini belakangan tidak sedikit yang menaruh hormat yang tinggi.

Dan setelah mendengar pesan Mel Gibson bahwa love gives us wing, saya baru saja sadar. Bahwa cinta bisa membuat kita bersayap. Untuk kemudian, terbang tinggi-tinggi dalam kehidupan. Tidak hanya tinggi dalam prestasi materi, tetapi juga tinggi dalam prestasi spiritual. Lebih dari itu, sebagaimana burung yang
bersayap, tubuh dan jiwa ini juga menikmati kebebasan yang demikian mengagumkan. Imajinasi, inovasi, inspirasi datang demikian mudahnya dalam kehidupan yang bersayapkan cinta.

Coba perhatikan lirik lagu Boyzone yang berjudul Every Day I Love You, It's a touch when I feel bad, It's a smile when I get mad. Cinta memang bisa demikian memabukkan kalau tidak dibingkai dengan kedewasaan dan kearifan. Namun begitu ia berada dalam bingkai kedewasaan dan kearifan, ia berfungsi persis seperti sayap besar dan tangguh. Dan siap membawa kita kemana saja kita pergi dalam kehidupan.

Bercermin dari filmnya Mel Gibson, pengalaman pribadi saya, maupun lagunya Boyzone, akan banyak gunanya kalau kita membanjiri diri kita dengan cinta. Dan ini sebenarnya tidak sulit. Energi cinta tersedia demikian melimpah di mana-mana. Istri, suami, anak, orang tua, tetangga, alam semesta, Tuhan adalah
sumber dan sekaligus tempat penyaluran cinta. Kita bisa melakukannya kapan saja dan di mana saja baik dengan biaya mahal maupun murah.

Saya menyisakan sebagian kecil makanan di pinggir piring setiap kali makan, meletakkan segenggam nasi di pinggir taman rumah agar dimakan oleh burung-burung gereja yang datang setiap pagi, meletakkan daun talas di kolam ikan agar ikan makan dengan lahap, membagi sebagian kecil rejeki ke orang-orang bawah yang memerlukan, memberi semampu mungkin ke anak, isteri dan orang
tua. Anda saya yakin punya cara yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan saya. Mencintai juga lebih hebat dibandingkan dengan saya. Namun, jangan pernah lupa, cinta membuat kita bersayap. Dan kemudian membuat tubuh dan jiwa ini terbang demikian enteng dan ringan. Seperti Mel Gibson yang mengalahkan format teknologi yang demikian mengagumkan namun kejam.

Rabu, 21 Mei 2008

Korea Saja Bisa, Apalagi Indonesia

Tiga puluh tahun yang lalu, saya mendengar dari profesor saya di ruang kelas bahwa Indonesia merupakan negara yang berpotensi tinggi, karena sumber daya alam dan manusianya begitu kaya. Tiga puluh tahun sudah lewat, dan saya sudah menjadi profesor. Saya masih juga mengatakan kepada murid-murid saya bahwa Indonesia

negara besar dan berpotensi tinggi dengan alasan yang sama.

Tanggal 19 Desember 2007, rakyat Korea (Korsel) memilih presiden baru, yaitu Lee Myung-bak (biasa disebut MB) yang akan memulai lima tahun masa jabatannya pada 25 Februari mendatang. MB berjanji bahwa dalam masa jabatannya Korea akan lebih maju dengan wawasan 7-4-7, yang berisikan bahwa 7 persen pertumbuhan ekonomi per tahun, 40.000 dollar AS pendapatan per kapita, dan negara ke-7 terbesar dari segi ekonominya (sekarang ke-11 terbesar). Pada hemat saya, Indonesia juga bisa, karena negara ini punya kemampuan.

Ciri utama yang mewarnai negara berkembang, dan merupakan musuh utama yang harus kita kalahkan, ialah kebodohan dan kemalasan yang keduanya adalah cikal bakal yang melahirkan kemiskinan. Karena itu, siapa yang lebih dahulu mampu menghilangkan dua sifat buruk itu, maka dialah yang akan dengan cepat dapat meraih kemajuan dan kemakmuran bangsanya.

Dalam teori pembangunan, sebagaimana ditulis Steven J Rosen dalam bukunya, The Logic of International Relation, dikenal dua aliran pendapat tentang sebab-sebab keterbelakangan negara-negara berkembang, di mana kedua aliran pendapat itu secara prinsip sangat berbeda satu dengan yang lain. Dalam hal ini, Indonesia dan Korea memiliki pandangan yang sama, yakni menganut paham tradisional; menganggap bahwa proses pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di sebagian besar negara terhambat akibat rendahnya tingkat produktivitas yang berhubungan erat dengan tingginya kemubaziran dan ketidakefisiensian sosial. Aliran ini berpendapat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan mutlak disebabkan faktor-faktor internal. Istilah Jawa-nya karena salahe dewe.

Adapun aliran yang lain, ialah aliran radikal, memandang kemiskinan dan keterbelakangan suatu negara (terutama negara ketiga) disebabkan oleh kondisi internasional, yakni adanya eksploitasi negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang. Namun, dalam hal ini saya beranggapan bahwa teori ini cenderung selalu mencari kambing hitam. Pepatah Melayu-nya, karena awak tak bisa menari, lantai pula yang disalahkan.

Etos Korea

Kita semua tahu bahwa Korea dalam kurun waktu relatif singkat telah menjelma menjadi masyarakat modern, yaitu masyarakat yang telah mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada kehidupan agraris.

Kemajuan Korea ini telah membuat banyak orang berdecak, terpukau seperti melihat keajaiban sebuah mukjizat. Para pakar bertanya-tanya, resep apa gerangan yang telah membuat bangsa yang terubah menjadi negara dan bangsa yang makmur? Sejak awal tahun 1970-an pihak Pemerintah Korea dalam rangka semangat pembangunan nasional telah berusaha membentuk tipe manusia Korea yang memiliki empat kualitas. Pertama, ”sikap rajin bekerja”. Lebih menghargai bekerja secara tuntas betapa pun kecilnya pekerjaan itu, tinimbang pidato yang muluk-muluk tetapi tiada pelaksanaannya.

Kedua, ”sikap hemat”, yang tumbuh sebagai buah dari sikap rajin bekerja tadi. Ketiga, ”sikap self-help”, yang didefinisikan sebagai berusaha mengenali diri sendiri dengan perspektif yang lebih baik, lebih jujur, dan lebih tepat; berusaha mengembangkan sifat mandiri dan rasa percaya diri. Keempat, kooperasi atau kerja sama, cara untuk mencapai tujuan secara efektif dan rasional, dan mempersatukan individu serta masyarakatnya.

Inilah picu laras yang memacu jiwa kerja bangsa Korea. Bila kita perhatikan, keempat butir nilai itu sesungguhnya adalah nilai luhur bangsa Indonesia. ”Rajin pangkal pandai…” dan ”sedikit bicara banyak kerja” adalah pepatah yang telah mengakar dalam budaya Indonesia.

Adapun nilai self-help, mandiri, sudah lama melekat dalam nilai religi sebagian besar masyarakat Indonesia, karena Tuhan Yang Maha Esa dalam Al Quran menyebutkan bahwa sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib sesuatu bangsa, kecuali bangsa itu mengubah nasibnya sendiri. Sedangkan setiap usaha mengubah nasib, baik itu membuahkan hasil ataupun tidak, Islam telah memberinya nilai tambah; digolongkan pada perbuatan ibadah. Sementara sifat yang terakhir, kooperasi, adalah sendi-sendi budaya Indonesia yang amat menonjol. Kooperasi atau gotong royong tetap dipelihara dan dilestarikan.

Burung garuda

Sebagai penutup, saya ingin sedikit mendongeng tentang seekor anak burung garuda yang tertangkap dan dipelihara oleh seorang pemburu. Dari hari ke hari dia hanya bermain di halaman rumah; bersama-sama ayam kampung. Lalu pada suatu hari lewatlah seorang ahli unggas. Sang zoologist itu terkejut.

”Ah!” pikir sang ahli unggas itu terheran-heran. ”Sungguh mengherankan burung garuda itu!” ujarnya kepada pemburu.

”Dia bukan burung garuda lagi. Nenek moyangnya mungkin garuda, tetapi dia kini tidak lebih dari ayam-ayam sayur!” balas sang pemburu mantap.

”Tidak! Menurutku dia burung garuda, dan memang burung garuda!” bantah si ahli unggas itu.

Burung garuda ditangkap, lalu diapungkan ke atas udara. Garuda mengepak, lalu terjatuh.

”Betul, kan?” ujar si pemburu. ”Dia bukan garuda lagi!”

Kembali si ahli unggas itu menangkap garuda, dan mengapungkannya lagi. Kembali garuda mengepak, lalu turun kembali. Si pemburu kembali mencemooh dan semakin yakin garuda telah berubah menjadi ayam.

Dengan penuh penasaran si ahli unggas memegang burung itu, lalu dengan lembut membelai punggungnya, seraya dengan tegas membisikkan: ”Garuda, dalam tubuhmu mengalir darah garuda yang perkasa. Kepakkanlah sayapmu, terbanglah membubung tinggi, lihatlah alam raya yang luas yang amat indah. Terbanglah! Membubunglah!” Burung dilepas, dia mengepak. Semula tampak kaku, kemudian tambah mantap, akhirnya garuda melesat membubung tinggi, karena dia memang garuda.

Nah, barangkali cerita ini ada persamaannya dengan bangsa Indonesia. Bukti kejayaan masa lampau telah membuat mata dunia takjub. Borobudur satu bukti karya perkasa. Kini camkanlah bahwa Anda sekalian mampu, Anda punya kemampuan. Korea saja bisa, apalagi Indonesia.

Oleh; Koh Young Hun Profesor di Program Studi Melayu-Indonesia, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea

Selasa, 20 Mei 2008

Ir. H. Badaruddin Andi Picunang, MM.


Lahir di Belopa (Luwu Sulsel) 4 Maret 1970. Pendidikan dimulai di SDN Radda (Luwu) pindah ke SDN Sambung Jawa Makassar dan diselesaikan di SDN Padangpadang (Luwu). Lanjut ke SMPN Belopa, SMAN Wawondula (Nuha) dan selesai di SMAN Belopa. Semasa SMA aktif di OSIS & Pramuka, Ketua Umum Remaja Masjid Topoka Belopa (1988). Diterima di Fakultas Ilmu Kelautan Universitas Hasanudin (1989). Dipercaya menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa ITK UNHAS 1991-1992, Sekretaris Jenderal Himpunan Mahasiswa Kelautan Se-Indonesia (HIMITEKINDO) 1993-1995. Selain itu aktif di IMM, HMI, KNPI, ORBIT-ICMI, IPMIL dan dunia pers.
Beberapa juara karya tulis ilmiah tingkat regional dan nasional sempat diraihnya, diantaranya LKTI Hemat Energi 1994, LKTI Kepariwisataan 1991, dan LKTI Perikanan 1992. Dipercaya memimpin Lembaga Pers PP IPMIL sekaligus Pemimpin Redaksi Majalah LA GALIGO 1993-1995, Ketua Umum IPMIL Koord. UNHAS (1994), Staf penyunting Surat Kabar kampus IDENTITAS UNHAS, Perwakilan Tabloid BISNIS MARITM di Makassar (KTI) 1995-1997.

Setelah menyelesaikan S1 tahun 1997 kemudian terjun ke dunia usaha dengan mendirikan beberapa perusahaan (tambang batubara, tours & travel, konsultan) dan LSM di bawah payung BENUA GROUP dengan posisi sebagai Chairman & CEO. Sekretaris Pokja Kelautan DPP Partai GOLKAR ini juga aktif sebagai Wakil Sekjen DPP Barisan Muda KOSGORO 1957, Pimpinan PP AMPG, DPP AMPI dan Pemuda Pancasila. Aktif di Kerukunan Keluarga Tanah Luwu Jakarta yang tetap menyuarakan dan memperjuangkan LUWU RAYA sebagai provinsi. Pernah Kuliah di Magister Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Magister Manajemen Universitas Pancasila (Jakarta) dan kini sedang mendalami Ilmu Administrasi Kebijakan Publik di Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Tulisan-tulisannya pernah dimuat di beberapa terbitan lokal dan nasional. Buku yang pernah disunting dan ditulis diantaranya: Tudang Ade Menelusuri Hari Jadi Luwu (1995), Pembangunan KTI & Kelautan (1996), Kepemimpinan BJ Habibie (1999), Pengembangan Produk Unggulan Wilayah (2000). beristrikan sesama aktivis di ORBIT-ICMI dan alumnus UNHAS, Salmawati Yusuf, S.Sos. yang juga sedang mendalami Ilmu Psikologi di UI kini dikaruniai anak: Abelibra (6 tahun) dan Amela (4 tahun). Puisi-puisinya pernah dibukukan dalam buku PUISI-PUISI DARI KAMPUS dan jiwa seninya dituangkan dalam album dangdut GUBUK BAMBU (2008). Lelaki yang berperawakan tinggi 172 cm dan berat 75 kg hobbu renang, tennis, menembak dan golf memiliki prinsip hidup BE THE BEST AND SHARING HAPINESS (berbuat yang Terbaik dan berbagi Kebahagiaan).